Total Tayangan Halaman

counter


Breaking News

Minggu, 08 Februari 2015

Wayang Golek, Kendang Pencak, Rampak Kendang, Surak Ibra, Gondang, Kuda Renggong

1. Wayang Golek


Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.
Yang dimaksud dengan wayang golek purwa dalam tulisan ini adalah pertunjukan boneka (golek) wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana. Istilah purwa mengacu pada pakem pedalangan gaya Jawa Barat dan juga Surakarta yang bersumber pada Serat Pustaka Raja Purwa karya R Ng. Ranggowarsito.
 
2. Kendang Pencak
 
Gendang penca atau kendang penca satu seni yang tidak terlepas dari seni pencak silat. kendang pencak yang keberadaannya makin tersisihkan bahkan bisa di bilang barang langka terlebih buat anak-anak muda sekarang padahal kendang pencak warisan tak ternilai dari para karuhun/leluhur sunda yang merupakan satu kesenian yang harus di jaga dan di lestarikan.
 
Di Jawa Barat, di samping dikenal dengan aspek beladirinya, yang lebih dikenal dengan sebutan buah atau eusi, dikenal pula aspek pencak silat seni yang disebut kembang atau ibing pencak silat, sehingga apabila mendengar kata “pencak” yang terbayang oleh masyarakat Jawa Barat bukanlah suatu sistem pembelaan diri, melainkan suatu seni ibing pencak silat yang diambil dari gerak serangan dan belaan.  
 
3. Rampak Kendang
 
 
Rampak Gendang merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Jawa Barat. "Rampak" berasal dari bahasa sunda yang bermakna serempak atau secara bersama-sama, jadi rampak gendang bisa diartikan sebagai suatu pertunjukkan gendang yang dimainkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, pertunjukkan Rampak Gendang selalu dimainkan oleh dua orang atau lebih.

Gendang atau kendang merupakan alat musik utama dari pertunjukkan Rampak Gendang. Alat musik ini juga merupakan instrumen dalam gamelan jawa, yang berfungsi sebagai pengatur irama. Alat musik lainnya dalam pertunjukkan Rampak Gendang adalah rebab, gitar, dan alat gamelan yang lain. Semua alat musik itu kemudian dipadukan membentuk suatu irama yang energik dan bersemangat.

Belakangan pertunjukkan Rampak Gendang sering dikolaborasikan dengan kesenian yang lain, seperti tari Jaipong atau dijadikan sebagai pengiring lagu pop. Namun, belakangan ini Rampak Gendang bahkan dipadukan dengan gamelan Jawa, sehingga menghasilkan sebuah pertunjukkan Rampak Gendang yang berbeda dari biasanya.

Perkembangan kesenian Rampak Gendang tidak hanya sampai disitu, saat ini orang-orang dari luar negeri berdatangan ke Indonesia untuk mempelajari kesenian tersebut. Bahkan salah satu universitas di Amerika membuka mata kuliah kesenian Indonesia, dengan dosen dari Indonesia, yang salah satunya mempelajari tentang kesenian Rampak Gendang.

Kesenian Rampak Gendang merupakan representasi dari kebersahajaan masyarakat Sunda. Di dalam kesenian tersebut kaya akan nilai-nilai filosofis, mencerminkan masyarakat Sunda yang guyub dan harmonis berlandaskan sifat-sifat kegotong-royongan dan keceriaan. Satu lagi kekayaan nusantara bernilai dunia yang harus kita jaga dan lestarikan. Rampak Gendang, dari Indonesia untuk dunia.
 

4. Surak Ibra

 
Surak Ibra, pada awalnya dikenal masyarakat Garut sebagai seni Boyongan atau Boboyongan yang menampilkan tokoh masyarakat yang bernama Pa Ibra (seorang pendekar silat yang memiliki kharisma di Garut). Akhirnya, Boboyongan tersebut oleh masyarakat dikenal sebagai Surak Ibra, konon sebagai penghormatan kepada Bapak Ibra.
 
Pertunjukan Surak Ibra melibatkan sejumlah orang, terutama laki-laki. Pertunjukan dimulai dengan sejumlah pemuda membawa obor yang menyala lalu mengambil formasi berbanjar. Mereka menari gerakan-gerakan silat. Disusul oleh rombongan penari Surak Ibra (biasanya jumlahnya sekitar 30-60 orang) yang memakai kostum pesilat (hanya tidak menggunakan warna hitam lagi, tetapi warna kuning dan merah) bergerak dengan penuh semangat, menampilkan gerakan-gerakan pencak silat. Terdapat yang bertindak sebagai pengatur (pemberi komando), atas komandonya musik pengiring ditabuh serempak (biasanya lagu Golempang) bersambung dengan sorak-sorai yang meriah (bhs. Sunda eak-eakan), antara musik dan sorak menciptakan suasana yang meriah dan dinamis. Setelah itu mereka melakukan formasi-formasi tertentu dengan gerakan-gerakan pencak silat. Pada saat mereka membuat formasi lingkaran, salah seorang dari mereka bertindak sebagai tokoh yang akan diboyong (diangkat-angkat), ketika lingkaran semakin menyempit tokoh tadi diangkat oleh sebagian penari Surak Ibra, ia pasrah diangkat naik turun, diikuti musik dan sorak sorai yang semakin meriah. Ia di atas tangan-tangan penari Surak Ibra menari-nari dan berpindah-pindah dari tangan ke tangan yang lain, kadang tinggi sekali melambung ke atas, sorak sorai pun semakin ramai. Biasanya setelah atraksi Surak Ibra yang memukau itu, kembali ke formasi semula sebagai sebuah Helaran.
 

  5. Gondang

Gondang adalah lagu pada tutunggulan, ada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai. Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi[1]. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang, Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan. 

6. Kuda Renggong

 
 
Kuda Renggong merupakan kesenian pertunjukan rakyat yang berasal dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Kata Renggong dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (keterampilan) cara berjalan kuda yang dilatih untuk seakan-akan menari mengikuti irama musik, jadi jika mendengar musik baik dari tabuhan kendang dan lainnya Kuda Renggong ini akan jalan berjingkrak-jingkrak seolah sedang menari.
 
Kesenian Kuda Renggong ini sendiri biasanya diadakan untuk syukuran anak yang telah dikhitan atau disunat, atau istilahnya dikariakeun. Anak tersebut akan diarak keliling kampung menyusuri jalan raya menaiki Kuda Renggong dengan diiringi musik dan rombongannya, dan kebanyakan dari mereka ikut menari mengikuti irama musik. Biasanya penduduk yang rumahnya kebetulan dilewati oleh rombongan Kuda Renggong ini akan berbondong-bondong keluar untuk menonton. Dalam sebuah rombongan arak-arakan Kuda Renggong sendiri bervariasi jumlah Kuda Renggongnya, mulai dari 2, 4, atau sampai 8 ekor bahkan lebih, tergantung dari si empunya hajat 
Read more ...

Kamis, 05 Februari 2015

ARTI SENI BUDAYA, Arti Seni dan Budaya, Filosofi Kebudayaan Indonesia




Arti Seni Budaya

Seni tari Indonesia
Seni Tari
Arti Seni

Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni juga dapat diartikan dengan sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung unsur keindahan. 

seni adalah suatu cara dari diri kita sendiri untuk mengekspresikan sesuatu, yang mungkin tidak dapat kita ungkapkan dengan kata2 dan bisa dengan musik, bisa dengan lukisan, bisa dengan tarian sesuai dengan cirikhasnya.

Karena Seni itu sangat luas maka perlu kita pelajari Arti Seni Menurut berbagai Sumber

Bangsa Indonesia sebagai negara yang beraneka ragam budaya (BHINEKA TUNGGAL IKA), yang sekaligus merupakan ciri khas dan asset dari bangsa Indonesia, memang sebagian besar dari generasi muda sudah banyak sekali jenis-jenis kebudayaan di miliki bangsa terlupakan dari ingatan generasi bangsa Indonesia, tidak banyak orang yang perduli dengan keberadaan budaya, apakah akan berkembang atau menciut, dan pemberian apresiasi kepada pecinta seni dan budaya pun tidak banyak, seolah-olah keinginan untuk mengembangkan budaya tidak ada dalam benak sangpenerus bangsa. 
Tidak seharusnya juga kita melupakan dikarenakan perkembangan zaman dan pengaruh dari budaya barat yang memang sangat berbeda jauh dengan akar budaya yang tertanam sejak Indonesia Merdeka.

Para pengolah seni bukan tidak mau mewariskan budaya-budaya yang memang turun temurun dari leluhur pewaris budaya, tetapi keinginan dari sang penerus yang memang sudah enggan karena beranggapan bahwa seni nenekmoyangnya yang ada di Indonesia, sudah tidak level lagi dengan pergaulan yang hampir kebablasan akibat pengaruh perubahan zaman.

Jika kita menengok kemasa yang lalu dimana kebudayaan indonesia yang sangat dibanggakan dan di cintai, serta apresiasi mereka (masyarakat dan penggerak seni), seiring dan berdampingan demi terlaksanannya pementasan budaya, sangat membanggakan sekali dan sangat jauh berbeda sekali dengan kebaradaannya sekarang yang semakin terpojok dan tertinggal. 

Berbeda-beda tapi satu tujuan “Bhineka Tunggal Ika” dengan beraneka ragam seni dan budaya tapi tetap Bangsa Indonesia, apakah memang kebudayaan turun temurun ini akan hilang diterjang badai zaman yang tidak menentu, dan kapankah kebangkitan kebudayaan Indonesia akan kembali di banggakan oleh seluruh rakyat Indonesia, dan menjadi tameng Indonesia kepada bangsa lain bahwa bangsa Indonesia memang layak untuk diperhitungkan.

Arti budaya

Arti Seni dan Budaya
reog Ponorogo
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahsa sangsakerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.


Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville Jean Herskovits (1895 – 1963) dan Bronisław Kasper Malinowski (1884-1942) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Sir Edward Burnett Tylor (1832-1917), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.


Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Sejarah Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa (dari cina), kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Budhha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.

Kebudayaan Arab masuk bersama penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.
Read more ...

Selasa, 03 Februari 2015

Kampung Naga; Kampung Adat di Jawa Barat


KAMPUNG NAGA adalah salah satu kampung adat dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa barat dan masih tetap melestarikan kebudayaan dan adat leluhurnya. Kampung Naga sendiri terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu kabupaten Tasikmalaya yang tepatnya berada di antar jalan raya yang menghubungkan antara daerah Garut dengan Tasikmalaya dan berada tepat di sebuah lembah yang subur yang dilalui oleh sebuah sungai bernama sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray Garut. Jarak dari Kampung Naga ke kota Tasikmalaya sendiri sekitar 30 km. untuk mencapai kampung Naga yang penduduknya memeluk agama Islam ini harus melalui medan jalan yang lumayan terjal yakni harus menuruni anak tangga hingga sungai Ciwulan dengan kemiringan tanah sekitar 45 derajat.
Yang membuat Kampung Naga ini unik adalah karena penduduk kampung ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Uniknya lagi, karena areal Kampung Naga yang terbatas hingga tak memungkinkannya lagi mendirikan rumah di kampung itu, banyak penduduk Kampung Naga pada akhirnya menyebar ke berbagai penjuru daerah seperti ke Ciamis dan bahkan Cirebon tapi penduduk yang tak lagi berdiam di Kampung Naga ini tetap saja masih menjunjung tinggi warisan adat budaya leluhurnya. Jika pada hari-hari tertentu Kampung Naga akan diselenggarakan misalnya adat dan upacara sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga maka penduduk yang tak lagi tinggal di kampung ini pun akan menyempatkan hadir demi ikut berpartisipasi dalam perayaan atau upacara adat tersebut.
Nenek moyang Kampung Naga sendiri konon adalah Eyang Singaparana yang makamnya sendiri terletak di sebuah hutan disebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap keramat dan selalu diziarahi oleh keturunannya yakni warga Kampung Naga pada saat mereka akan melaksanakan upacara-upacara adat atau yang lainnya. Kepatuhan warga Kampung Naga sendiri dengan tetap menyambangi makam leluhurnya ini sekaligus mempertahankan upacara-upacara adat, termasuk juga pola hidup mereka yang tetap selaras dengan adat leluhurnya seperti dalam hal religi dan upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dan sampai kepada peralatan hidup (alat-alat rumah tangga, pertanian dan transfortasi) dan sebagainya dengan dasar karena mereka begitu menghormati budaya dan tata cara leluhurnya. Mereka tetap kukuh dalam memegang teguh falsafah hidup yang diwariskan nenek moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya, dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat membahayakan bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi Kampung Naga dan bagi orang-orang sa-Naga.
Disamping gaya hidup dan pola kebersamaan mereka yang tak kalah unik dari Kampung Naga adalah struktur bangunan tempat tinggal mereka. Keunikan tersebut tercermin dari bentuk bangunan yang berbeda dari bangunan pada umumnya termasuk letak, arah rumah hingga bahan-bahan yang membentuk rumah itu semuanya selaras dengan alam dan begitu khas. Dengan ketinggian kontur tanah yang berbeda-beda di tiap tempat, maka rumah-rumah di Kampung Naga di buat berundak-undak mengikuti kontur tanah. Deretan rumah yang satu lebih tinggi dari rumah yang lain dengan pembatas sangked-sangked batu yang disusun sedemikian rupa hingga membuat tanah yang di atas meski ada bangunannya tidak mudah longsor ke bawah dan menimpa rumah yang ada di bawahnya. Sekeliling kampung pun dipagari dengan tanaman (pohon bambu) hingga membentuk pagar hidup yang begitu asri.



Dilihat dari bentuk perkampungannya, penduduk Kampung Naga sangat erat kekerabatannya. Hal itu tercermin dari pola rumah yang saling berkelompok dan saling berhadap-hadapan dengan tanah lapang ditengah-tengah sebagai areal bermain anak-anak. Seluruh rumah dan bangunan-bangunan yang ada atapnya memanjang arah barat ke timur, pintu memasuki kampung terletak di sebelah timur, menghadap ke sungai Ciwulan hingga jika dilihat dari ketinggian akan terlihat begitu indah dan mengingatkan kita pada atap-atap rumah di Tiongkok jaman kungfu dulu. Di bagian sebelah barat lapang terdapat bangunan masjid dan pancuran, sejajar dengan masjid terdapat bangunan yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan rumah tempat menyimpan barang-barang pusaka serta rumah kuncen (Kepala Adat). Selain itu, terdapat bangunan tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit
Lebih jauh, menilik pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga kita akan mendapatkan keselarasan antar dua pemimpin dengan tugasnya masing-masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh penduduk Kampung Naga disebut sebagai Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Kampung Naga. Pola kepemimpinan seperti ini mengingatkan saya pada pola kepemimpinan ulama dan umarah. Sang kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal adat istiadat jika berhubungan dengan sistem pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RK, pun sebaliknya, Pak RT dan Pak RK pun mesti taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adat istiadat dan kehidupan kerohanian.



Beralih ke sistem kesenian Kampung Naga, kita akan bersitatap dengan berbagai kesenian tradisional yang tetap dilestarikan keasliannya yang antara lain seperti kesenian terbangan, angklung, dan beluk. Kesenian-kesenian ini biasanya akan ditampilkan bilamana warga Kampung Naga sedang melaksanakan berbagai upacara-upacara adat seperti upacara sasih, upacara berziarah ke kubur keramat nenek moyang dan upacara yang berhubungan dengan bulan-bulan suci atau agung dalam Islam, misalnya bulan Muharram, Maulud, hari Raya Idulfitri, dan sebagainya. Meski begitu, kesenian ini pun kerap kali dipentaskan tidak hanya untuk mengiringi upacara-upacara adat tapi juga pada saat hajatan perkawinan dan khitanan sebagi sarana hiburan sekaligus penyemarak pesta.
Read more ...

Calung Jinjing, Cara Baru Memainkan CalunG

Calung merupakan alat musik tradisional yang lahir dari budaya agraris masyarakat Sunda. Alat musik yang bertangga nada pentatonik ini biasanya terbuat dari bambu hitam, mengingat jenis bambu ini diyakini mampu mengeluarkan suara yang lebih nyaring. Berdasarkan perkembangannya sebagai alat musik tradisional, calung kini berevolusi menjadi beberapa jenis. Jika masyarakat Banten Kidul mengenal calung renteng, maka pada masyarakat Sunda Bogor terdapat Calung Jinjing.



Pada dasarnya Calung Renteng dan Calung Jinjing mempunyai kesamaan, perbedaan keduanya hanya terdapat pada cara memainkannya. Calung Renteng biasa di mainkan oleh anak laki-laki Banten Kidul dengan cara duduk bersila, sedang Calung Jinjing dimainkan dengan cara dijinjing. Cara memainkan calung dengan dijinjing inilah yang kemudian menjadikannya kerap dikolaborasikan dengan kesenian yang lain, seperti longser. 

Pertunjukkan kesenian calung yang dikolaborasikan dengan longser menjadi menarik, lantaran semua pemain longser akan membawa Calung Jinjing. Sepanjang pementasan, di sela-sela dialog para pemain longser, calung tersebut akan dibunyikan. Bahkan dalam beberapa adegan, para pemain longser akan membawakan lagu-lagu sunda dengan menggunakan calung yang dikolaborasikan dengan alat musik tradisional lainnya. 

Bentuk Calung Jinjing pada dasarnya sama dengan bentuk calung pada umumnya, calung ini terdiri dari 4-6 bilah bambu. Dimainkan dengan cara dipukul, tangan kanan memegang alat pemukul sedangkan tangan kiri memegang calung. Terdapat beberapa teknik memukul calung sehingga menghasilkan nada yang berbeda-beda, teknik tersebut antara lain seperti dikemprang, dirincik, dirangkep.

Calung sebagai alat musik tradisional dahulu dimainkan dalam berbagai ritual yang berhubungan dengan kehidupan agraris masyarakat Sunda, seperti Seren Taun dan Mapag Sri. Kini Calung tidak hanya menjadi alat musik pengiring ritual, namun sudah menjadi seni pertunjukkan yang bersifat profan. Dalam berbagai kesempatan, seperti dalam penyambutan tamu, pernikahan adat, dan perhelatan budaya lainnya, Calung kerap ditampilkan sebagai kesenian tradisional yang tidak hilang ditelan zaman. 
Read more ...

CALUNG

Calung.jpg

Calung merupakan alat musik tradisional Jawa Barat yang terdiri dari deretan tabung bambu yang disusun berurutan dengan tangga nada pentatonik dan dimainkan dengan cara memukul bagian bilah atau tabungnya.Bambu yang dipakai untuk membuat alat musik calung berasal dari jenis awi temen(Gigantochloa Atter (Hassk.) Kurz) atau awi wulung(Gigantochloa Atroviolacea Widjaja).

Secara etimologi, kata calung berasal dari “caca cici sing kurulung” yang berarti suara bilah bambu yang dipukul.

Ada dua jenis calung yang terdapat di Jawa Barat, yakni Calung Rantay dan Calung Jinjing.

Calung Rantay

Calung rantay disebut juga calung renteng, calung gambang atau calung runtuy. Beberapa ahli mengklasifikasikan bahwa calung rantay dan calung gambang berbeda jenis, sebab di beberapa daerah calung gambang memiliki dudukan yang paten, kurang lebih berbentuk seperti xylophon atau kolintang di Minahasa.

Untuk memainkan calug rantay biasanya dipukul menggunakan dua buah alat pemukul sambil duduk bersila. Calung rantay terdiri dari bilah bambu yang diikat dan disusun berderet dengan urutan bambu yang terkecil sampai yang paling besar,selanjutnya tali pengikatnya direntangkan pada dua batang bambu yang melengkung.Jumlahnya tujuh bilah atau lebih.

Komposisinya ada yang berbentuk satu deretan dan ada juga yang berbentung dua deretan, yang besar disebut calung indung (calung induk) dan yang kecil disebut calung rincik(calung anak).

Di beberapa daerah seperti di Tasikmalaya, Cibalong, dan Kanekes, calung rantay memiliki ancakkhusus dari bambu atau kayu.

Calung Jinjing

Calung jinjing berbentuk tabung-tabung bambu yang digabungkan oleh paniir (sebilah bambu kecil). Berbeda dengan calung rantay, calung jinjing dimainkan dengan cara dipukul sembari dijinjing. Calung jinjing berasal dari bentuk dasar calung rantay dibagimenjadi empat bagian bentuk wadrita(alat) yang terpisah, yakni calung kingking, calung panepas,  calung jongrong, dan calung gonggong. keempat buah alatini dimainkan oleh empat pemain dan masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda.

  • Calung Kingking memiliki 15 bilah bambu dengan urutan nada tertinggi,

  • Calung Panepas memiliki lima bilah bambu yang dimulai dari nada terendah calung kingking,

  • Calung Jongrong sama dengan calung panepas, hanya saja urutan nadanya dimulai dari nada terendah calung panepas,

  • Calung Gonggong hanya memiliki dua bilah bambu dengan nada terendah.

Zaman dahulu, para pemuda umumnya memainkan calung disela pekerjaannya mengusir burung dan hama lainnya di sawah. Sedangkan di Desa Parung, Tasikmalaya terdapat upacara yang disebut calung tarawangsa. Pada upacara ini calung dikolaborasikan dengan alat musik tarawangsa sebagai ritual penghormatan kepada Dewi Sri. Calung yang biasa dipakai untuk upacara ini yaitu calung rantay. Lagu-lagu yang dibawakan pada saat upacara ini berlangsung berisi puji-puijan kepada Dewi Sri.

Pada perkembangannya, fungsi calung bergeser menjadi pengiring sebuah seni pertunjukan yang bernama calungan. Perpaduan dalam mengkomposisikan tabuhan gending, lagu, guyonan (lawakan) menjadi sebuah garapan musik rakyat yang sangat digemari di seluruh lapisan masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Calung yang hidup dan dikenal masyarakat sekarang adalah calung dalam bentuk penyajian seni pertunjukan, dengan mempergunakan waditra yang disebut calung jingjing. 


Read more ...

Senin, 02 Februari 2015

Kuda Lumping; Kesenian Bertabur Mistik




Kuda lumping, jika kita mendengar dua kata ini pasti asosiasi kita langsung tertuju pada salah satu kesenian tradisional yang sangat kental dengan suasana mistik. Dan memang secara garis besar kesenian kuda lumping yang sudah ada sejak dulu dan tidak diketahui siapa pencetus pertamanya ini berisiskan atraksi mendebarkan seperti makan beling, makan arang, dan sebagainya yang dilakukan oleh sang penari kuda lumping.

Nama kuda lumping sendiri kemungkinan besar didapat dari kekhasan para penarinya yang selalu menunggangi kuda bohongan yang terbuat dari lumping (kulit binatang) dalam setiap aksinya. Dalam tiap pertunjukkan para penari kuda lumping yang pada awal kemunculannya selalu diperankan oleh anak-anak remaja putri (kini seiring perkembangan zaman para penari kuda lumping umumnya digantikan oleh para remaja putra dan kalaupun tetap menyertakan penari putri itu hanya semata-mata sebagai hiasan saja karena tak lagi ikut melakukan aksi-aksi yang mendebarkan seperti makan beling, sabut kelapa, dll) dengan iringan gamelan seperti gong, kenong, kendang dan slompret mereka menari-nari sampai kemudian sang pawang melecutkan pecutan (cambuk) hingga terdengar bunyi yang sangat keras.

Pada saat penari kuda lumping yang sedang menari ini begitu mendengar suara lecutan yang sangat keras tiba-tiba saja mereka menjadi trance bak orang kesurupan. Konon suara lecutan dari sang pawang yang sebelumnya merapal mantra-mantra inilah yang menjadikan pemain kuda lumping kehilangan kesadarannya dan masuknya kekuatan mistik ke dalam tubuh mereka. 

Dengan menaiki kuda dari lumping binatang tersebut, penunggang kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. Beling (kaca) yang dimakan adalah bohlam lampu yang biasa sebagai penerang rumah kita. Lahapnya ia memakan beling seperti layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan dan tidak ada darah pada saat ia menyantap beling-beling tersebut.

Dari hampir sepanjang pertunjukan kuda lumping ini bunyi lecutan dari cambuk sang pawang maupun dari para penari kuda lumping sendiri tak henti-hentinya berbunyi. Konon setiap lecutan yang mengenai kaki atau bagian tubuh lainnya dari sang penari akan membuatnya semakin perkasa dan dan digdaya. Maka dari itu para penari kuda lumping ini acap kali dengan sengaja melecutkan cambuknya agar mengenai kaki untuk mendapatkan efek magis itu. 

Begitu semua permainan telah dimainkan dan sang penari sudah terlihat lelah, maka sang pawang pun akan maju ke arena pertunjukan untuk mendatangi para pemain kuda lumping. Dan dengan mantra tertentu sang pawang pun mengusap wajah penari kuda lumping satu-persatu untuk mengembalikan kesadaran mereka. 

Maka begitu kesadaran sang penari semuanya telah pulih dan kembali seperti semula pertunjukan kuda lumping pun usai. Tinggalah kini sang pawang meneliti satu persatu para pemainnya kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka ketika mereka memainkan atraksi berbahaya tadi.

Kuda lumping, jika kita mendengar dua kata ini pasti asosiasi kita langsung tertuju pada salah satu kesenian tradisional yang sangat kental dengan suasana mistik. Dan memang secara garis besar kesenian kuda lumping yang sudah ada sejak dulu dan tidak diketahui siapa pencetus pertamanya ini berisiskan atraksi mendebarkan seperti makan beling, makan arang, dan sebagainya yang dilakukan oleh sang penari kuda lumping.

Nama kuda lumping sendiri kemungkinan besar didapat dari kekhasan para penarinya yang selalu menunggangi kuda bohongan yang terbuat dari lumping (kulit binatang) dalam setiap aksinya. Dalam tiap pertunjukkan para penari kuda lumping yang pada awal kemunculannya selalu diperankan oleh anak-anak remaja putri (kini seiring perkembangan zaman para penari kuda lumping umumnya digantikan oleh para remaja putra dan kalaupun tetap menyertakan penari putri itu hanya semata-mata sebagai hiasan saja karena tak lagi ikut melakukan aksi-aksi yang mendebarkan seperti makan beling, sabut kelapa, dll) dengan iringan gamelan seperti gong, kenong, kendang dan slompret mereka menari-nari sampai kemudian sang pawang melecutkan pecutan (cambuk) hingga terdengar bunyi yang sangat keras.

Pada saat penari kuda lumping yang sedang menari ini begitu mendengar suara lecutan yang sangat keras tiba-tiba saja mereka menjadi trance bak orang kesurupan. Konon suara lecutan dari sang pawang yang sebelumnya merapal mantra-mantra inilah yang menjadikan pemain kuda lumping kehilangan kesadarannya dan masuknya kekuatan mistik ke dalam tubuh mereka. 

Dengan menaiki kuda dari lumping binatang tersebut, penunggang kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. Beling (kaca) yang dimakan adalah bohlam lampu yang biasa sebagai penerang rumah kita. Lahapnya ia memakan beling seperti layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan dan tidak ada darah pada saat ia menyantap beling-beling tersebut.

Dari hampir sepanjang pertunjukan kuda lumping ini bunyi lecutan dari cambuk sang pawang maupun dari para penari kuda lumping sendiri tak henti-hentinya berbunyi. Konon setiap lecutan yang mengenai kaki atau bagian tubuh lainnya dari sang penari akan membuatnya semakin perkasa dan dan digdaya. Maka dari itu para penari kuda lumping ini acap kali dengan sengaja melecutkan cambuknya agar mengenai kaki untuk mendapatkan efek magis itu. 

Begitu semua permainan telah dimainkan dan sang penari sudah terlihat lelah, maka sang pawang pun akan maju ke arena pertunjukan untuk mendatangi para pemain kuda lumping. Dan dengan mantra tertentu sang pawang pun mengusap wajah penari kuda lumping satu-persatu untuk mengembalikan kesadaran mereka. 

Maka begitu kesadaran sang penari semuanya telah pulih dan kembali seperti semula pertunjukan kuda lumping pun usai. Tinggalah kini sang pawang meneliti satu persatu para pemainnya kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka ketika mereka memainkan atraksi berbahaya tadi.
Read more ...

Kasenian Daerah Pasundan (Dalam Bahasa Sunda)


Indonésia téh kaasup nagri anu beunghar ku budaya, hususna budaya daérah. Saban sélér bangsa, anu nyicingan rébuan pulo di Indonesia, mibanda kabudayaan séwang-séwangan. Diantarana, kasenian daérah.

Naon ari kasenian daérah teh? Tangtu baé kasenian anu lahir sarta hirup di daérah. Ieu kasenian téh perlu diipuk jeung dimekarkeun lantaran mangrupa banda bangsa anu gedé ajénna. Kasenian daérah anu hirup, dipikawanoh, tur dipikaresep lain baé ku sélér bangsa anu nyiptakeunana disebut kasenian nasional. Jadi, kasenian daérah téh mangrupa unsur pangwangun kasenian nasional.

Kasenian jaipong umpamana, ieu kasenian asal Jawa Barat téh geus jadi kasenian nasional. Lain baé urang Sunda nu mikaresep jaipongan téh, tapi ogé dipikaresep ku sélér bangsa séjén. Ambahan kamekaranana jelas leuwih lega, lain ngan di tatar Sunda wungkul. Malah, ceuk béja, urang mancanagara ogé loba nu mikaresep.

Lamun seug ditalungtik, kasenian Sunda téh pohara lobana. Ieu kasenian anu sakitu lobana téh kiwari nungtut laleungitan. Malah boa hidep mah ngan saukur kungsi ngadéngé ngaranna baé. Ari pangna terus muguran téh lantaran taya generasi ngora anu neruskeunana. Kanyataan ieu téh puguh matak pohara handeueulna. Pohara matak prihatinna. Enya, saha nu teu prihatin kaleungitan kakayaan bangsa anu gedé ajénna?

Urang salaku urang Sunda ulah tepi ka pareumeun obor, atuh saeutikna apal ngaran-ngaranna, heunteu apal janggélékna ogé. Ku sabab kitu, geura urang tataan, boh kasenian anu masih hirup boh anu kungsi hirup. Geura urang tataan, diantarana baé, wayang golék, jaipongan, cianjuran, angklung, calung, kendang penca, beluk, kiliningan, ketuk tilu, kuda lumping, tarawangsa, sandiwara, réog, longsér, lais, debus, ubrug, ujungan, dombrét, kawih, gending karesmén, bangbarongan, jeung gondang. Éta téh karék sabagian leutik, dah ceuk béja kasenian Sunda anu kungsi hirup téh leuwih ti tilu puluh rupana.

Moal boa, di sélér bangsa séjén ogé mibanda kasenian anu kawilang loba sarta geus loba deui nu paéhna. Lamun ti hiji sélér bangsa, sebut baé, mibanda tilu puluh kasenian, pék kalikeun ku hidep. Énya maksud téh, kalikeun jeung jumlah sélér bangsa nu aya di Indonésia. Leuh, pohara beungharna Indonésia téh. 
Read more ...
Designed By